SENI INDONESIA

. rumah joglo dari jawa

seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia

Joglo adalah rumah adat masyarakat Jawa. Bagian-bagian joglo yaitu :

  1. pendapa.
  2. pringgitan.
  3. dalem.
  4. sentong.
  5. gandok tengen.
  6. gandok kiwo.

Bagian pendapa adalah bagian paling depan Joglo yang mempunyai ruangan luas tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan untuk acara besar bagi penghuninya. Seperti acara pagelaran wayang kulit, tari, gamelan dan yang lain. Pada waktu ada acara syukuran biasanya sebagai tempat tamu besar. Pendopo biasanya terdapat soko guru, soko pengerek, dan tumpang sari.
Bagian Pringgitan adalah bagian penghubung antara pendopo dan rumah dalem. Bagian ini dengan pendopo biasanya di batasi dengan seketsel dan dengan dalem dibatasi dengan gebyok. Fungsi bagian pringgitan biasanya sebagai ruang tamu.
Bagian Dalem adalah bagian tempat bersantai keluarga. Bagian ruangan yang bersifat lebih privasi.

Jenis Joglo

  1. Joglo Limasan Lawakan (atau “Joglo Lawakan”).
  2. Joglo Sinom
  3. Joglo Jompongan
  4. Joglo Pangrawit
  5. Joglo Mangkurat
  6. Joglo Hageng
  7. Joglo Semar Tinandhu
  8. Joglo Kudus
  9. Joglo Jepara
  10. Joglo Pati

Penyebaran di Pulau Jawa, karena kedekatan budayanya bangunan ini juga banyak ditemukan di Pulau Madura dan Pulau Bali.

2. rumah gadang dari sumatera barat

seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia

Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.

Fungsi rumah gadang

Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.

Arsitektur rumah gadang

Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan tahun. namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng.
Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Dari bagian dari depan Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah rebah oleh goncangan, dan setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.
Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding.

Ukiran rumah gadang

Pada bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah Gadang.
Pada dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya umumnya tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah.
Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai adalah motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang. Motif daun, bunga atau buah dapat juga diukir tersendiri atau secara berjajaran.

3. rumah tongkonan dari sulawesi selatan

seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia

Tongkonan adalah rumah adat msyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat. Tongkonan berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (stara sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (banga) saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari (disebut pa’bare’ allo), yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
Khususnya di Sillanan-Pemanukan (Tallu Lembangna) yang dikenal dengan istilah Ma’duangtondok terdapat tongkonan yaitu Tongkonan Karua (delapan rumah tongkonan) dan Tongkonan A’pa'(empat rumah tongkonan) yang memegang peranan dalam masyarakat sekitar.
Tongkonan karua terdiri dari:

  1. Tongkonan Pangrapa'(Kabarasan)
  2. Tongkonan Sangtanete Jioan
  3. Tongkonan Nosu (To intoi masakka’na)
  4. Tongkonan Sissarean
  5. Tongkonan Karampa’ Panglawa padang
  6. Tongkonan Tomentaun
  7. Tongkonan To’lo’le Jaoan
  8. Tongkonan To Barana’

Tongkonan A’pa’ terdiri dari:

  1. Tongkonan Peanna Sangka’
  2. Tongkonan To’induk
  3. Tongkonan Karorrong
  4. Tongkonan Tondok Bangla’ (Pemanukan)

Banyak rumah adat yang konon dikatakan tongkonan di Sillanan, tetapi menurut masyarakat setempat, bahwa yang dikatakan tongkonan hanya 12 seperti tercatat di atas. Rumah adat yang lain disebut banua pa’rapuan. Yang dikatakan tongkonan di Sillanan adalah rumah adat di mana turunannya memegang peranan dalam masyarakat adat setempat. Keturunan dari tongkonan menggambarkan strata sosial masyarakat di Sillanan. Contoh Tongkonan Pangrapa’ (Kabarasan)/ pemegang kekuasaan pemerintahan. Bila ada orang yang meninggal dan dipotongkan 2 ekor kerbau, satu kepala kerbau dibawa ke Tongkonan Pangrapa’ untuk dibagi-bagi turunannya.
Stara sosial di masayarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:

  1. Ma’dika (darah biru/keturunan bangsawan);
  2. To Makaka (orang merdeka/bebas);
  3. Kaunan (budak), budak masih dibagi lagi dalam 3 tingkatan.

Sejarah Kabarasan:
Pada awalnya Kabarasan dipegang oleh Tintribuntu yang berkedudukan di Buntu Lalanan (rumah adat Buntu sebelah barat). Kemudian Anaknya Tintribuntu yaitu Tome kawin dengan anak dari Tongkonan Sangtanete Jioan (Tongkonan Sangtanete sebelah timur). Sampai dipertahankan oleh Pong Paara’ di Sangtanete Jioan. Setelah Pong Paara’ meninggal (tidak ada anaknya), akhirnya muncul pemberani dari Doa’ (Rumah adat Doa’) yaitu So’Padidi (alias Pong Arruan). Kabarasan dipindahkann ke Doa’. Kekuasaan lemah di Doa’ setelah So’ Padidi meninggal, karena semua anaknya adalah perempuan 3 orang, sehingga muncul tipu muslihat yang mengatakan bahwa bisa dipotongkan kerbau 3 ekor saja. Karena minimal kerbau dikorbankan adalah 4, maka Doa’ dianggap tidak mampu memegang kekuasaan. Akhirnya dibawa Boroalla ke Tonngkonan Pangrapa’, sampai saat ini.

( itulah sekilas info tentang seni budaya di bidang rumah adat .. kembali ke seni budaya di indonesia lainnya yuk )

b. kesenian

budaya indonesia tak lepas dari aspek kesenian daerah kesenian itu sendiri merupakan ekspresi manusia yang dapat dinikmati oleh mata dan telinga. di indonesia ada bermacam-macam kesenian, berikut contohnya:

1. sastra ( bahasa )
bahasa adalah alat komunikasi manusia. di indonesia, kita dapat menemukan berbagaim macam bahasa, seperti bahasa jawa, bahasa bali,  bahasa batak,bahasa papua, dan masih banyak lagi. semua bahasa itu memiliki pengucapan yang berbeda-beda, tetapi kita disatukan oleh bahasa nasional indonesia.
seni sastra juga meliputi cerita atau dongeng rakyat. cerita ini biasanya berkaitan erat dengan asal-usul suatu daerah atau cerita kerajaan zaman dahulu. misalnya cerita tangkuban perahu, timun mas, atau cerita malin kundang.

2. lagu
pernahkah kamu dengar lagu apuse, kicir-kicir, ampar-ampar pisang, atau cing cangkeling ? semua lagu-lagu dengan bahasa daerah itu merupakan seni budaya kesenian yang melekat pada seluruh penduduk indonesia.

3. tarian
contoh budaya tari di indonesia adalah tari saman dari aceh, tari pendet dari bali, atau tari piring dari sumatera barat.

4. alat musik
lagu dan tarian daerah tidak akan lengkap tanpa musik. di indonesia, musik daerah dimainkan oleh beragam alat musik yang memiliki bunyi yang indah.

contoh beberapa alat musik daerah adalah :

a. angklung yang terbuat dari bambu

seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.

Asal-usul

Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara. Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Leave a comment